Mangrove si Penyelamat Lingkungan


Jakarta, humas LIPI. Kebanyakan orang menyebutnya sebagai tumbuhan bakau. Sementara bakau  merupakan kelompok dari mangrove yang disebut dengan Rhizopora . “Mangrove di dunia keberadaannya lebih dari 50 spesies. Namun di Indonesia lebih dari 40 spesies mangrove sejati,” demikian I Wayan Eka Dharmawan, peneliti  Pusat Penelitian Oseanografi LIPI, mengawali paparannya pada acara webinar Jatuh Cinta (lagi) dengan Bumi, edisi 2 dengan tema “Mangrove The Prosperity Forrest “  pada Rabu (17/3) lalu.

Dikatakan Eka, bahwa Indonesia merupakan negara dengan mangrove yang paling luas, proporsinya 22,6 persen. “ Luas ¼ mangrove yang ada di dunia itu ada di Indonesia. Sehingga, Asia Tenggara khususnya memiliki kelimpahan mangrove yang cukup tinggi,” sebutnya.

Kemudian apabila dikaitkan mangrove dengan kelestarian lingkungan. Eka menyebutkan, ada hal unik ditemukan di lapangan bahwa sampah yang dibuang sembarangan oleh masyarakat dapat diperangkap oleh mangrove, sehingga pantai ataupun laut menjadi lebih bersih.”Jika mangrovenya  sehat, seagrass sehat maka terumbu karang juga akan sehat,” tegas Eka.

 “Mangrove bisa menjadi rumah biota-biota laut atau hewan teresterial. Karena mangrove adalah rumah yang dihuni oleh berbagai binatang. Kenapa bisa begitu, karena mangrove itu sendiri bertindak sebagai produsen makanan utama bagi ekosistem dan inilah yang disebut sebagai jejaring makanan. Fungsi lainnya mangrove memberikan perlindungan terhadap terjangan ombak besar atau tsunami ,” ungkap Eka.

Selain fungsi tersebut, juga ada fungsi lainnya yang sangat berpengaruh untuk lingkungan, Eka menjelaskan, kalau mangrove juga bisa menyerap gas CO2 (polusi) yang ditimbulkan dari pabrik, sehingga mengurangi pencemaran undara yang sangat tidak baik untuk kesehatan. “Intinya disini adalah jika mangrove kita pelihara dengan baik maka akan jauh lebih menguntungkan,” jelasnya.

Lebih lanjut Eka menyampaikan keunikan dari mangrove ditengarai dari berbagai bentuk akar, yang mana pertumbuhan jenis Rhizopora dewasa akan mampu memelihara dan membesarkan anaknya ketika masih berada dalam induknya. “Apabila dirasa kuat oleh induknya, maka perkembangbiakan anaknya akan dibantu oleh air laut dan bisa beradaptasi dengan lingkungan terlebih dahulu selama 3 minggu. Setelah itu, mencari tempat aman untuk hidup dan menghindari bahaya dari lingkungan sekitarnya,” jelas Eka.

Dari sisi lain, status mangrove saat ini cukup terancam, tercatat untuk Asia Tenggara dan Indonesia ketersediaan mangrove terjadi penurunan. “Hal ini dikarenakan banyak dimanfaatkan sebagai sebuah komoditas,” ungkap Eka. Dengan kondisi yang demikian itu, lalu siapa yang harus bertanggungjawab atas kondisi yang terjadi seperti saat ini. Secara tegas Eka menyebutkan bahwa, hal ini tidak bisa hanya menjadi tanggungjawab peneliti saja tetapi diharapkan adanya suatu kerjasama antara peneliti, pemerintah, lembaga masyarakat dan pemerhati mangrove.

Pada akhir paparannya Eka mengajak untuk bisa bersama peduli dengan kelestarian mangrove. Beberapa hal yang dapat kita lakukan adalah dengan sering mengadakan acara sharing dengan topik mangrove, membentuk mangrove komunitas, melakukan hal kecil untuk ikut melestarikan mangrove. Selain itu juga dapat melakukan monitoring baik sebagai ilmuwan, lembaga masyarakat ataupun komunitas.”Saat ini sudah ada platform yang dibentuk dalam usaha untuk melakukan monitoring mangrove yang sering dikenal dengan ‘Mon-Mang’ yang telah dipublikasi LIPI pada 2020. Fungsi dari Mon-Mang ini adalah untuk membantu menginterpretasikan kondisi mangrove di tempat masing-masing melalui smartphone,” pungkasnya (Rdn/Ed: mtr)

e - Jurnal
Sistem Informasi
Repository Publikasi Terbitan P2O - LIPI
Kolom Dr. Anugerah Nontji

Pusat Penelitian Oseanografi - LIPI

Jl. Pasir Putih I, Ancol Timur, Jakarta 14430
Telp. 021 - 64713850
Fax. 021 - 64711948

Copyright@2017 Pusat Penelitian Oseanografi LIPI