Potensi dan Upaya Mitigasi dalam Perlindungan Laut Nusantara
Jakarta. Humas LIPI. Secara biologis, laut Indonesia telah digunakan sebagai laboratorium alam untuk berbagai kajian keanekaragaman hayati vertebrata, invertebrata, dan tumbuhan laut, khususnya di kawasan Pasifik Barat sebagai pusat segitiga terumbu karang. Secara ekologis, laut Indonesia telah digunakan sebagai wilayah studi berbagai aspek fisik dan kimia oseanografi yang berkaitan dengan keanekaragaman hayati laut, namun kajian terpadu yang terkait dengan keanekaragaman hayati laut dan keterkaitannya dengan karakteristik oseanografi sangat terbatas, terang Dr. Hagi Yulia Sugeha, Peneliti Pusat Penelitian Oseanografi (P2O) LIPI dalam seminar International Conference on the Ocean and Earth Sciences (ICOES), yang dilaksaakan secara daring pada kamis (19/11).
“Berdasarkan dua pemikiran tersebut maka kami melakukan studi. Salah satu fakta isu di era regional dan global tentang hot spot keanekaragaman hayati laut di perairan Indonesia. Seperti yang sudah sering saya jelaskan bahwa Indonesia merupakan bagian terbesar dari pusat segitiga terumbu karang yang terletak di tengah Laut Indonesia”, papar Hagi dalam seminar ICOES hari kedua yang bertema Dampak Perubahan Iklim Terhadap Keanekaragaman Hayati Laut Dan Pesisir dan Kemungkinan Rencana Strategisnya Untuk Adaptasi dan Mitigasi.
Sebagai contoh, Hagi melakukan penelitian di sekitar Kepulauan Sangihe Talaud. Mengapa di Kepulauan Sangihe Talaud? Karena Kepulauan Sangihe Talaud terletak di antara cekungan dalam Laut Sulawesi dan Laut Maluku di konjungsi dengan bagian barat dalam Samudera Pasifik. Selain itu juga karena karakter geografis yang unik dengan sebagai bagian dari "cincin api". “Karena menjadi bagian dari “cincin api”, tentu saja menjadi sumber ventilasi hidrotermal yang menjanjikan”, ujar Hagi. “Alasan lain kami melakukan studi di sekitar pulau Talaud, karena pada tahun 2010 lalu telah terjadi kerjasama pelayaran antara Indonesia dan Amerika Serikat yang disebut Index SATAL Expedition 2010. untuk menyelidiki laut dalam di bawah pulau Sangihe Talaud, dan mereka melakukan banyak keunikan dalam organisme laut dari invertebrata dan juga ikan” ungkapnya.
Berdasarkan studi yang telah dilakukan disana, Hagi menyimpulkan bahwa 1). Keanekaragaman larva ikan yang lebih tinggi ditemukan di ekosistem pelagis laut Pulau Sangihe Talaud meliputi kejadian larva ikan sidat laut (11 famili), larva ikan karang laut (18 famili), larva ikan pelagis laut (21 famili), dan larva ikan laut dalam (32 famili). 2). Keanekaragaman larva avertebrata yang lebih tinggi ditemukan pada ekosistem pelagis laut pulau Sangihe Talaud termasuk moluska laut (16 famili), krustasea laut (11 famili), sefalopoda laut (7 famili), dan zooplankton agar-agar laut (5 famili). 3) Studi yang lebih detail dengan menggunakan pendekatan genetika molekuler akan menjadi penting untuk mendeskripsikan status keanekaragaman hayati laut di wilayah studi hingga tingkat spesies dan untuk memahami perannya di lautan. 4). Ekosistem pelagis laut di sekitar pulau Sangihe Talaud sangat menjanjikan sebagai tempat bertelur dan persemaian berbagai organisme laut tropis”, tuturnya.
Permasalahan Plastik
Dari berbagai penelitian kelautan yang dilaksanakan oleh para peneliti, ternyata plastik masih menjadi masalah terbesar bagi pencemaran laut pada ekosistem laut dan pesisir. Prof. Dr. Zainal Arifin, Peneliti Senior P2O LIPI memaparkan mengenai Policy and Research on Marine Plastic Pollution in Indonesia: Achieving the target of 70% reduction of marine plastic litter by 2025 pada Seminar ICOES hari ketiga (20/11) menjelaskan bahwa “Sampah plastik adalah salah satu kontaminan yang baru-baru ini menjadi perhatian. Sampah plastik ukuran lebih 5 mm, atau yang biasa disebut makro plastik, berpotensi mengurangi keindahan lingkungan pantai dan membawa spesies asing. Untuk plastik ukuran lebih kecil dari 5 mm, atau mikro/nano plastik akan dimakan oleh larva dan shellfish. Hal tersebut juga akan berdampak pada kesehatan kita. Plastik mikro/nano berpotensi mengikat kontaminan yang ada di ekosistem perairan, yang akan berdampak pada ekosistem dan keamanan pangan”jelasnya.
Zainal mengatakan, terdapat empat sumber sampah plastik ke laut, yaitu yang berasal dari Kota, Industri, Pertanian dan Maritim. 70 – 80% sampag plastik bersumber dari darat. Terkait dengan kebijakan pemerintah dalam menanggulangi pencemaran plastik, Zainal juga mengatakan terdapat dua peraturan paling signifikan yaitu peraturan presiden No.97 Tahun 2017, dimana 30% pengurangan semua limbah disumbernya, yaitu dengan cara: mengurangi timbulan sampah per kapita; mengurangi jumlah timbunan sampah di sumbernya; mengurangi jumlah sampah yang tidak terkelola di lingkungan. 70% tingkat penanganan semua limbah, yaitu dengan cara: mengurangi jumlah timbunan sampah di lokasi limbah akhir; mengurangi jumlah sampah yang tidak terkelola di lingkungan; meningkatkan jumlah sampah daur ulang.
Peraturan kedua adalah regulasi terakhir yang sangat mendukung pengurangan sampah plastik pada tahun 2025, yaitu Keputusan Presiden No. 83/2018, yaitu 70% pengurangan sampah plastik laut dilingkungan kita pada tahun 2025, melalui: perubahan perilaku; kebocoran dasar lahan; kebocoran dasar laut; produksi dan penggunaan plastik; reformasi kebijakan dan penegakan hukum”, terang Zainal.
“Arah penelitian polusi plastik di masa depan adalah dengan melaksanakan clean ocean melalui pengurangan polusi laut dan meningkatkan penegakan hukum, meningkatkan pengetahuan, penelitian dan pengembangan teknologi, serta membangun penyimpanan data dan sistem manajemen”, jelas Zainal. ”Target sampah plastik akan tercapai jika hanya ada strategi terintegrasi dalam aksi mitigasi pencemaran sampah plastik. Perlunya mengadopsi kimia hijau melalui pengembangan kantong plastik bio dan teknologi bioremediasi. Mengembangkan program sosio-biohavioral atau praktik efisiensi sumber daya di tingkat akar rumput, serta menerapkan pengelolaan Wilayah Pesisir terintegrasi”, paparnya.
Mendukung apa yang disampaikan oleh Zainal Arifin, Arianti Hatmanti Peneliti P2O LIPI menerangkan bahwa “Bumi adalah satu-satunya planet dengan kehidupan manusia, oleh karena itu, limbah hasil aktivitas manusia (antropogenik) tetap banyak. Limbah antropogenik, yaitu: limbah domestik (protein, nutrisi, eutrofikasi, HAB), limbah minyak, limbah industri, limbah plastik, dan lain-lain. Sampah plastik kini menjadi sampah paling banyak di lingkungan, khususnya di lautan. Plastik, apalagi mikroplastik sulit terdegradasi, dan terakumulasi dalam biota laut”, tuturnya.
Arianti mengatakan, “Menurut Forum Ekonomi Dunia, pada tahun 2050 akan ada lebih banyak plastik daripada ikan di lautan. Kota-kota di Indonesia, khususnya pesisir, menyumbang sekitar 3,22 juta ton berbagai jenis sampah ke lautan, termasuk sampah plastik. Sampah plastik bisa mencapai 0,48-1,29 juta metrik ton / tahun, hal ini menunjukkan bahwa setiap keluarga di Indonesia bisa menyumbang antara 178 hingga 480 juta sampah plastik per tahun”, katanya.
“Oleh karena itu, perlu adanya rencana strategis dalam pengelolaan sampah. Urutan pertama, kita harus mengurangi ketergantungan pada plastik sekali pakai dan meningkatkan sistem pengelolaan limbah padat secara global”, jelas Arianti. “Begitu kita mengatasi masalah di sumbernya, kita bisa mulai berpikir untuk langsung menangani sisa polusi plastik yang terkumpul di pusaran laut dan di dasar laut. Sampai saat itu, kita masih harus banyak belajar dan melakukan”, sambung Arianti.
Arianti pun menyarankan bagaimana mengelola limbah minyak dan plastik di Ekosistem Laut Tropis, yaitu dengan 1). Kolaborasi antar pemangku kepentingan, kampanye tidak menggunakan satu pun penggunaan plastik, cara mendaur ulang plastik, cara mengelola sampah plastik, cara mengurangi sampah plastik; 2). Cara menangani sampah plastik, “Plastik besar harus dikumpulkan di pembangkit listrik, diparut dan dimusnahkan secara fisik, kemudian kita dapat menginokulasi “mikroorganisme pemakan plastik” dan bahan pendukungnya; Di lokasi, kami juga dapat menginokulasi mikroorganisme pemakan plastik untuk membantu proses penguraian agar lebih cepat”, terang Arianti. 3). Teknologi dengan jelajahi dan temukan lebih banyak mikroba yang mampu mengurai plastik, Jelajahi dan temukan enzim pengurai plastik dari mikroba, yang dapat memecah berbagai jenis plastik, Memanipulasi enzim, misalnya enzim PET-ase agar lebih kuat dalam mengurai plastik”, tutup Arianti.
Masih dalam Seminar ICOES hari ketiga dengan tema: Dampak pencemaran laut pada ekosistem laut dan pesisir dan kemungkinan rencana strategis untuk adaptasi dan mitigasi. Dr. Dirhamsyah memaparkan materi mengenai Biodiversity Beyond National Jurusdiction (BBNJ): Indonesian Perspective as an Archipelagic State.
Sementara, Peneliti Pusat Penelitian Oseanografi, Dirhamsah menekankan pentingnya Area Beyond National Jurisdiction (ABNJ), tidak hanya bagi kita, tetapi juga bagi Indonesia, dan seluruh dunia. Dirinya juga mengatakan bahwa ketentuan BBNJ meliputi dua konvensi internasional, yaitu Convention on Biological Diversity (CBD) dan United Nations Convention the Law of the Sea (UNCLOS). “Keanekaragaman hayati dikumpulkan dari CBD, sedangkan Beyond National Jurisdiction dari UNCLOS”.
Menurut Dirhamsyah, Indonesia harus terlibat aktif dalam penyusunan BBNJ untuk menjaga kepentingan Indonesia pada ABNJ, khususnya dalam menempatkan penelitian kelautan sebagai prioritas utama dalam Program Pembangunan Nasionalnya. “Indonesia harus tetap berkomitmen untuk memberikan kontribusi positif bagi tata kelola lautan dunia, sekaligus mengamankan kepentingan nasionalnya”, tegasnya. (dsa/ ed:drs)