Pemanasan global akibat perubahan iklim dapat mempengaruhi distribusi biota laut di kawasan konservasi yang menjadi fokus riset dan monitoring atau dikenal dengan ‘biota target’. “Studi biogeografi berperan penting dalam pengembangan jejaring kawasan konservasi, seperti menentukan biota target”,ungkap peneliti Pusat Penelitian Oseanografi LIPI, Hadiyanto dalam webinar “Biogeografi Karang Indonesia di era anthropocene”, pada Senin ( 27/7) lalu.
Hadiyanto mengatakan, beberapa biota target bisa jadi pindah ke area lain yang mungkin berada di luar kawasan konservasi saat ini. “Oleh karena itu, pengembangan kawasan konservasi baru sebagai jejaring perlu dipertimbangkan agar biota target selalu berada dalam perlindungan kawasan konservasi”, katanya. Dirinya menyebutkan, salah satu cara untuk memprediksi distribusi biota laut adalah dengan menggunakan Species Distribution Modelling (SDM).
“Metode ini menganalisa secara kuantitatif kehadiran biota dengan profil lingkungan di sekitarnya, kemudian diekstrapolasi antar ruang dan waktu. Species Distribution Modelling terdiri dari tiga komponen utama, yaitu data spesies: data lingkungan, dan modelling”jelas Hadiyanto.
Dijelaskan bahwa, (1) data spesies, merupakan data poin yang menunjukkan koordinat dimana spesies tersebut ditemukan dan/atau tidak ditemukan. Data ini dapat berupa kehadiran, kelimpahan, atau persentase tutupan; (2) data lingkungan, merupakan data raster yang menunjukkan profil lingkungan dimana spesies tersebut ditemukan dan/atau tidak ditemukan, seperti suhu, salinitas, dan kedalaman; (3) modelling dapat dilakukan dengan tiga metode, yaitu: profile methods (Bioclim dan Domain), classical regression methods (Linear Model, Generalised Linear Model, dan Generalised Additive Model), atau machine learning methods (Maximum Entropy dan Random Forest).
Studi biota laut karang spesies Acropora di Indonesia tersebar di 698 area. Sebanyak 75% atau 558 area digunakan untuk membangun model, sedangkan 25% atau 140 area digunakan untuk memvalidasi model. “Hasil modelling menunjukkan bahwa Acropora tersebar luas di perairan Indonesia, terutama di bagian timur. Akan tetapi, area distribusi Acropora diprediksi menurun sebesar 22.15% di masa mendatang pada 2100 akibat pemanasan global, terutama di Indonesia bagian barat”, ungkap Hadiyanto
Prediksi ini mirip dengan hasil penelitian Cacciaplagia dan van Woesik (2018) yang telah memprediksi distribusi Porites lobata pada tahun 2100. Penurunan area distribusi Acropora berimplikasi terhadap performa kawasan konservasi di Indonesia. Sebagai contoh, kawasan konservasi di Simeulue, Nias, dan Siberut diprediksi tidak lagi menjadi tempat perlindungan Acropora di masa mendatang (2100) karena profil lingkungannya sudah tidak sesuai. “Sebagai jejaring konservasi, perlu dipertimbangkan pengembangan kawasan konservasi di pulau-pulau di sebelah selatan, seperti Sipora dan Pagai, yang diprediksi masih sesuai untuk kehidupan Acropora”, tutup Hadiyanto (sys/ed:mtr)